Potret UMKM Indonesia: Si Kecil yang Berperan Besar

Sebagai orang Indonesia tentu pemandangan dan aktivitas kita sehari-hari tak lepas dari berbagai layanan dan barang hasil kreasi pelaku UMKM. Dimulai dengan aktivitas pagi hari ketika sarapan kita mencari bubur atau kue-kue makanan ringan yang dijual UMKM, membeli kebutuhan pokok di warung dekat rumah, sampai menitipkan anak di playgroupterdekat yang juga adalah UMKM. Adapun di era digital saat ini, bahkan ada pula yang tidak memiliki toko serta hanya memasarkan produknya secara online, dan belum memiliki perizinan usaha. Pelaku usaha dengan karakteristik tersebut dapat ditemukan disekitar kita baik itu saudara, tetangga, teman atau kita sendiri. Dari namanya UMKM memang memiliki kepanjangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), namun jangan salah si kecil ini memiliki kontribusi yang sangat besar dan krusial bagi perekonomian kita secara makro.

Kementerian Koperasi dan UKM RI melaporkan bahwa secara jumlah unit, UMKM memiliki pangsa sekitar 99,99% (62.9 juta unit) dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia (2017), sementara usaha besar hanya sebanyak 0,01% atau sekitar 5400 unit. Usaha Mikro menyerap sekitar 107,2 juta tenaga kerja (89,2%), Usaha Kecil 5,7 juta (4,74%), dan Usaha Menengah 3,73 juta (3,11%); sementara Usaha Besar menyerap sekitar 3,58 juta jiwa. Artinya secara gabungan UMKM menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional, sementara Usaha Besar hanya menyerap sekitar 3% dari total tenaga kerja nasional!

I. Kriteria UMKM

Di Indonesia Undang-Undang yang mengatur tentang UMKM adalah UU No. 20/2008, dalam UU tersebut UMKM dijelaskan sebagai: “perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu.” Berikut kriteria kekayaan dan pendapatan di dalam UU tersebut.

Kriteria UMKM dan Usaha Besar Berdasarkan Aset dan Omzet

Sumber: UU No.20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Usaha kita dapat dikategorikan ke dalam Usaha Mikro apabila memiliki aset maksimal Rp 50 juta dan omzet maksimal Rp 300 juta per tahun atau sekitar Rp1.000.000 per hari (asumsi beroperasional aktif selama 300 hari/tahun); sementara batas atas omzet untuk Usaha Kecil adalah sekitar Rp8,3 juta per hari; dan batas atas omzet Usaha Menengah adalah sekitar Rp167juta per hari. Kini kita dapat menentukan sendiri apakah usaha yang kita jalankan termasuk dalam usaha skala mikro, kecil, atau menengah dengan merujuk pada kriteria UMKM di atas.

II. Bidang Usaha UMKM

Jumlah UMKM sangat banyak. Jika dibandingkan dengan jumlah unit Usaha Besar yang hanya sekitar 5.000 unit, maka jumlah UMKM lebih dari 10.000 kali lebih banyak! UMKM sebanyak itu, bergerak di bidang usaha apa saja, ya? Berdasarkan paparan dari perwakilan BPS di suatu FGD yang pernah kami selenggarakan bersama Kementerian Koperasi dan UKM RI (pada 31 Oktober 2017), disampaikan bahwa secara umum bidang usaha UMKM dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu Pertanian dan Non-Pertanian. Jumlah usaha di kelompok Pertanian dihitung melalui Sensus Pertanian 2013 (bukan survei); sementara yang non-pertanian dihitung melalui Sensus Ekonomi 2016. Kondisi ini membuat perhitungan total jumlah UMKM menjadi agak membingungkan, karena tidak bisa jumlah angka usaha pertanian (2013) ditambahkan dengan jumlah usaha non-pertanian (2016). Terlebih, pada Sensus Ekonomi 2016, BPS mengkategorikan publikasi datanya ke dalam 2 kelompok: Usaha Mikro Kecil (UMK) dan Usaha Menengah Besar (UMB); jadi kita tidak bisa mengetahui rincian per skala mikro, kecil, menengah, dan besar. Untuk melakukan ini mungkin butuh akses ke database mentah hasil Sensus Ekonomi 2016 tersebut.

Alih-alih mempermasalahkan soal data, setidaknya dari hasil Sensus Pertanian BPS 2013, kita bisa mengetahui bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian adalah 26.135.469 unit; diantaranya ada 0.016%atau sekitar 4200 unit yang sudah berbadan hukum. Sementara berdasarkan hasil Sensus Ekonomi BPS 2016, diketahui bahwa jumlah UMK adalah 26.263.649 unit, sementara jumlah UMB adalah 447.352 unit. Bagaimana mengenai Bidang usahanya? Berikut kami sajikan distribusi Bidang Usaha untuk UMK.

Sumber: Sensus Ekonomi 2016, http://se2016.bps.go.id, diolah penulis

Berdasarkan diagram di atas, berikut ini merupakan 3 bidang usaha UMK non-pertanian yang jumlah pelaku usahanya menempati urutan teratas dalam perekonomian nasional:

1. Perdagangan besar & eceran

Usaha di bidang perdagangan besar dan eceran adalah penjualan barang tanpa adanya proses merubah bentuk produk yang diperdagangkan, kecuali sebagai kegiatan penyortiran atau pengemasan ulang. Contohnya adalah pedagang buah-buahan yang membeli buah dalam skala besar (truk) untuk dijual kembali secara eceran (kiloan); atau distributor kripik yang mengumpulkan kripik yang diproduksi oleh beberapa ibu rumah tangga, untuk kemudian dikemas, diberi label, dan dijual secara eceran pula.

2. Penyediaan akomodasi & penyediaan makan minum

Usaha akomodasi dan penyediaan makan minum mencakup jenis usaha restoran, rumah makan, jasa boga (katering), pusat penjualan makanan (food court), kafe dll. Usaha katering yang melayani penyediaan makanan untuk acara atau kebutuhan logistik (misalnya pengadaan makanan atau snack untuk pesawat terbang, kereta api. kapal, dll) juga termasuk ke dalam kategori ini.

3. Industri pengolahan

Industri pengolahan meliputi berbagai kegiatan produksi yang mengubah bentuk bahan baku/mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang siap digunakan atau dikonsumsi. Misalnya industri kain yang mengubah kapas menjadi kain; atau industri konveksi yang mengubah bentuk kain menjadi berbagai jenis pakaian; atau industri minuman dalam kemasan yang mengubah berbagai jenis buah menjadi minuman jus di dalam botol yang siap dikonsumsi. Adapun di kategori Industri Pengolahan ini (manufaktur), terdapat sekitar 3.4 juta pelaku UMKM (BPS, 2015), yang mayoritas bergerak di 5 bidang Industri, yaitu Makanan dan Minuman (44.9%); Kerajinan Kayu dan anyaman (19.9%); Tekstil dan pakaian jadi (14.4%); Barang galian bukan logam seperti industri tepung, mika, dll (6.9%); dan furnitur (3.5%).

III. Kontribusi terhadap Perekonomian

Secara gabungan, skala kegiatan ekonomi UMKM memberikan kontribusi sekitar 60% terhadap total Pendapatan Domestik Bruto Indonesia. Pada 2017 lalu PDB Indonesia sekitar Rp13600 trilyun. Dengan demikian, artinya total pendapatan UMKM adalah sekitar Rp8160 trilyun! Usaha Mikro menyumbang sekitar Rp5000 trilyun per tahun, Usaha Kecil Rp1300 trilyun, Usaha Menengah sekitar Rp1800 trilyun; dan Usaha Besar sekitar Rp5400 trilyun.

Jika angka di atas dibagi dengan jumlah unit UMKM, maka dapat diperkirakan besaran rata-rata omset atau pendapatan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar, yang hasilnya adalah sebagai berikut.

Sumber: Kemenkop UKM RI 2017, BPS, diolah penulis (note: menurut keterangan tim data Kemenkop UKM RI yang diterima penulis, total pendapatan yang disajikan adalah total PDB nasional 2017 dikurangi dengan kontribusi pemerintah; total PDB Indonesia tahun 2017 adalah sekitar Rp13,600 trilyun).

Tabel di atas menunjukkan bahwa produktifitas per unit usaha memang mengalami peningkatan sejalan dengan kategori skala usahanya. Usaha Mikro hanya memiliki rata-rata pendapatan usaha sekitar Rp76 juta per tahun atau Rp253 ribu per hari; Usaha Kecil Rp1,63 milyar per tahun atau Rp.5,4 juta per hari; dan Usaha menengah Rp29.7 milyar per tahun atau sekitar Rp99 juta per hari. Sementara rata-rata pendapatan Usaha Besar adalah sekitar Rp941 milyar per tahun atau Rp3,15 milyar per hari (asumsi 300 hari per tahun). Hal ini berarti produktifitas Usaha Besar 12.394 kali lipat lebih besar daripada Usaha Mikro, 583 kali lipat daripada Usaha Kecil, dan 32 kali lipat daripada Usaha Menengah.

Jika dibandingkan dengan batas atas kriteria omsetnya, rata-rata omset Usaha Mikro saat ini hanya sekitar 25% dari batas atas omset Rp300 juta; Usaha Kecil 65%, dan Usaha Menengah 59%. Hal ini seakan menyiratkan bahwa produktifitas Usaha Mikro masih jauh lebih rendah daripada Usaha Kecil maupun Menengah yang membuatnya secara umum lebih rapuh dan mungkin saja mudah tergilas oleh tekanan persaingan. Mau tidak mau memang harus ada pendampingan melekat dan terstruktur agar Usaha Mikro dapat meningkatkan efisiensi produksi, produktifitas, dan daya tahannya dalam menghadapi persaingan. Di sisi lain, pelaku Usaha Mikro juga perlu membuka diri terhadap kebaruan teknologi, khususnya dalam memanfaatkan berbagai solusi digital yang dapat memperluas pasar sekaligus menekan berbagai biaya produksi.

Jumlahnya yang sangat-sangat banyak dan besarnya perannya dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi wong cilik yang secara umum tidak berpendidikan tinggi, membuat peran keseluruhan UMKM – khususnya Usaha Mikro – bagi perekonomian amatlah penting! Apakah bisa kita membayangkan betapa chaosnya Indonesia jika puluhan juta pelaku Usaha Mikro tersebut tiba-tiba mogok berhenti berusaha dan mempekerjakan dirinya sendiri, dan menuntut Usaha Besar atau pemerintah memberi mereka pekerjaan?

IV. Sehatkah struktur UMKM Indonesia?

Ini adalah pertanyaan yang sering saya tanyakan ke diri sendiri juga. Apakah struktur UMKM Indonesia yang sangat didominasi oleh Usaha Mikro ini sehat? Sekitar 98.7% UMKM kita adalah Usaha Mikro, dan struktur seperti ini tidak berubah dari 10 tahun lalu, mengindikasikan bahwa Usaha Mikro kita tak kunjung naik kelas menjadi Usaha Kecil atau Menengah.

Akhirnya saya coba mencari tahu struktur UMKM di negara yang sudah lebih maju ekonominya, dan yang saya temukan adalah data struktur UMKM di Uni Eropa.

Sumber: Annual Report of European SMEs 2016/2017

Dari data di atas dapat dilihat bahwa ternyata di negara maju jumlah UMKM juga mendominasi proporsi jumlah unit usaha, yaitu 99.8%. Namun jika dilihat komposisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengahnya, ada sedikit perbedaan dengan Indonesia; karena di Uni Eropa proporsi Usaha Mikro hanya 93%; sementara di Indonesia 98.7%. Terlepas terdapat perbedaan kriteria UMKM di Uni Eropa dengan di Indonesia, melalui tulisan ini saya berasumsi bahwa struktur UMKM di negara yang sudah lebih maju sejatinya lebih sehat daripada yang kita miliki saat ini. Terlebih karena saya sepakat dengan fenomena missing middle pada struktur UMKM Indonesia, dimana pelaku usaha terlalu didominasi oleh Usaha Mikro, dan terlalu sedikit di usaha kecil maupun menengahnya. Untuk itu saya ingin mengajak untuk berandai-andai. Jika kita ingin agar struktur UMKM Indonesia menjadi seperti di Uni Eropa, berapa jumlah UMKM yang harus dinaikkan kelasnya?

Dengan asumsi total unit usaha sekitar 62.9 juta unit, maka jumlah Usaha Mikro kita agar proporsinya hanya 93% adalah sekitar 58.5 juta unit saja; yang artinya sekitar 4.38 juta Usaha Mikro yang ada di Indonesia saat ini perlu dinaikkan skalanya ke Usaha Kecil. Untuk itu, agar proporsi Usaha Kecil hanya menjadi 5.82% seperti di Uni Eropa, maka jumlah Usaha Kecil yang dibutuhkan adalah sekitar 3.66 juta unit, sehingga kelak jumlah Usaha Kecil yang perlu dinaikkelaskan ke skala Usaha Menengah adalah sekitar 717 ribu unit. Implikasi lanjutannya agar jumlah Usaha Menengah kita sekitar 0.9% dari total unit usaha seperti di Uni Eropa, kita hanya membutuhkan sekitar 592 ribu Usaha Menengah; sehingga sekitar dinaikkelaskan menjadi Usaha Besar yaitu sebanyak 126 ribu unit. Dengan kondisi eksisting saat ini yang diperkirakan jumlah Usaha Besar kita hanya sekitar 5000 unit (0,01% dari total unit usaha), artinya untuk bisa mencapai 0.2% Usaha Besar kita masih perlu 121 ribu UMKM (saat ini) bisa menjadi Usaha Besar! Banyak juga, ya?!

V. Epilog: Renungan Bersama

Demikianlah potret UMKM nasional, si kecil yang berperan besar, dan merupakan penopang kelancaran dan stabilitas perekonomian nasional Indonesia. Adapun intisari yang ingin disampaikan adalah bahwa terlepas dari besarnya peran yang telah diberikan oleh UMKM untuk perekonomian, efektifitas pemberdayaan UMKM selama ini sepertinya perlu dipertanyakan, karena struktur UMKM kita masih melulu didominasi Usaha Mikro. Selain itu, jika digunakan struktur UMKM di Uni Eropa sebagai benchmark, target pemberdayaan UMKM sangatlah besar. Bagaimana tidak, mendampingi 100 Usaha Mikro untuk naik kelas ke Usaha Kecil dalam 1 tahun saja tidak mudah, success rate 10% saja sudah bagus. Apalagi 4.4 juta? Kalau success rate 20% kan artinya perlu 22 juta pelaku Usaha Mikro yang mendapatkan pendampingan?

Kalau biaya pendampingan Usaha Mikro selama 1 tahun diasumsikan sekitar Rp10juta per Usaha Mikro, maka akan dibutuhkan anggaran sekitar Rp220 trilyun! Ini hampir 4x lipat dari total anggaran Dana Desa yang Rp60 trilyun itu lho! Jadi, tentunya jelas hampir tidak mungkin perubahan struktural ini dapat dicapai dalam 1 tahun. Bagaimana kalau 10 tahun? Kalau dipukul rata berarti investasi yang dibutuhkan sekitar Rp22 trilyun per tahun.

Orang bijak berkata, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Jadi jika ada kemauan, mestinya bisa disusun suatu program pendampingan Usaha Mikro dengan kurikulum yang terstruktur dengan alat monitoring dan evaluasi pendampingan yang juga jelas; dapat pula mungkin dilakukan dengan mengoptimalkan Dana Desa? Tapi siapa yang akan menjadi leading sector-nya? Kementerian Koperasi dan UKM RI, Kemendes, Kemenko Perekonomian? Road map Kebijakan UMKM Nasional saja kita tidak punya. Ibarat orkestra, kita ini seperti musisi yang bukan saja tidak jelas dirijennya siapa, tapi juga tidak punya partiture. Apakah mungkin kita bisa menghasilkan melodi yang harmoni?

Tapi ya sudahlah, saya sudah terlalu banyak berandai-andai. Daripada berandai-andai lebih baik berdoa semoga semakin banyak pihak yang peduli dan memberikan aksi nyata untuk memberdayakan Usaha Mikro, agar lebih banyak yang bisa Naik Kelas. Sejatinya, jika memang pemberdayaan UMKM itu isu penting, maka sejatinya basis data dan dokumen road map itu ada. Tapi sampai sekarang, kita belum punya keduanya. Apakah isu UMKM ini benar-benar penting? Yang jelas, rakyat sudah lelah jargon, karena jargon itu enak di telinga tetapi ga enak di kantong.

Tinggalkan komentar